Jumat, 26 Juni 2009

Senioritas


Hom pimpa alayum gambreeeng!!!

Dulu waktu gw masih kecil, sering banget maen petak umpet, jambalan, bolongan ato gak maen kalengan. Mungkin loe juga pada pernah maenin tuh permainan rakyat. Kira-kira kelas 6 SD gw ama tetangga sering memainkan permainan itu. Temen gw ada yang lebih tua ada pun yang lebih muda. Biasanya kalau ama yang lebih tua gw sering dikerjain alias diboongin.

Dalam menentukan siapa yang “jadi” dalam setiap permainan, entah petak umpet, bolongan ato ga jambalan, pasti dengan hompimpa. Selain praktis hompimpa juga dianggap adil bagi para pemainnya. Jadi siapapun yang jadi “korban” tetap pasrah dan menerima itu sebagai konsekuensinya, termasuk gw!

Dalam memulai permainan petak umpet yang diikti 5 orang pemain, dan jika belum ada korban yang harus “jadi” agar permainan bisa dimulai. Maka disepakati dengan hompimpa

“HOMPIMPA ALAYUM GAMBREEENG...”

“NENEK LAMPIR PAKE BAJU ROMBEEENG...”

“SENDIRI MEEENAAANG...” semua anak mengucapkan kata-kata tersebut dengan berteriak.

Pada saat semua anak berteriak dan mengatakan “sendiri menaang”, biasanya temen-temen gw selalu memperlihatkan bagian telapak tangan luarnya. Semua sama dalam menentukan itu. Sampai pada kesempatan kedua, karena awalnya telapak bagian luar maka ketika hompimpa lagi yang muncul telapak bagian dalam semua...

Harapan segera mendapatkan korban secepatnya pun buyar. Biasanya orang yang merasa paling gede, ato ga paling tua mengambil inisiatif dengan mengatur strategi. Awalnya mereka ini mengklaim semua harus denger suaranya, dibujuklah anak-anak kecil macam gw supaya ikutin apa yang dia omongin.

“Hompimpa alayum gambreeng...”

“Sendirii meeeenang...” teman gw yang paling tua dengan semangat 45 sambil cengengesan mengatur irama pengundian “korban”.

Gw tentu ngikutin dong, lagian waktu itu gw masih goblok. Gak tau apa yang dipikirin ama senior he he he. Pikir gw kalo “sendiri menang” kan pasti telapak putih, betul gak? Wong hampir semuanya ngeluarin telapak luar alias yang item. Waktu itu gw nganggep gw sendiri paling jenius, soalnya gw bakal menang neh nanti pas ngeluarin telapak bagian dalam. Hmmm...

Ahaaa kesempatan itu di depan mata, ketika sang senior memulai pengundian mencari korban yang “jadi”

Senior berteriak dengan keras sambil cengengesan lagi “HOMM PIMM PAA ALAAYUMM GAMMBREENG...”

“SENDDIIRRII... MENN..”

Yes pasti gw menang neh, secara gw kan pinter, yang lain pasti ngeluarin tangan yang item, soalnya pada cari aman, beda ama gua yang cerdas. Gua gitu lhoo!!!

Gw pun dengan semangat ngeluarin telapak bagian dalem gw alias yang putih. Pasti gw menang dan gak “jadi” korban. Sampai suatu ketika...

“JAAADIII...” ha ha ha ha ha senior pun tertawa terbahak-bahak diikutin ama temen-tmen gw.

Kampreett, gw perhatiin yang lain pada ngeluarin telapak item semua! Gw doang yang putih, artinya SENDIRIAN GW PUTIH dan “MENJADI” korban. Ngepet doangg!!! Gw protess ga terima, tapi apa daya inilah konsekuensi permainan, gw mesti terima dan pasrah...

Apalagi gw waktu itu masih kecil...SIALLLL!!!!

Temen-temen gw yang lain Cuma bisa ketawa terbahak-bahak sambil mengejek. Tuman! Jadi loe!!!

“BERUKK DOANG!!!” umpat gw dalam hati.

Selasa, 23 Juni 2009

Way Nipah


Waktu itu hari Rabu pukul 10.00 WIB. Tiba-tiba dapat kabar dari seorang teman, bahwa dia membutuhkan seorang sukarelawan untuk membantu KPU. Dalam benakku namanya sukarelawan pasti tidak dibayar, kerja ikhlas dan lainnya. Dengan berat hati aku mengiyakan permintaan temanku. Ku sanggupi dengan segala konsekuensi, mungkin pada waktu itu aku seorang mahasiswa yang membutuhkan jam terbang dalam dunia praktis, maka aku berpikir tanpa bayaran pun aku dengan rela melaksanakan tugas itu. Walaupun nantinya tak sedikit kocek yang ku keluarkan untuk itu.

Pada waktu itu sekitar pertengahan tahun 2004. memang pada waktu itu bangsa Indonesia sedang melaksanakan hajatan demokrasi 5 tahunan /pemilu. Kami dari mahasiswa diminta berpartisipasi menjadi sukarela, ada yang ditugaskan menjadi entry data, pemantau pemilu, atau sekedar berpartisipasi mensukseskan pemilu. Kebetulan waktu itu salah satu kawan ku membutuhkan seorang entry data yang akan ditempatkan di setiap kecamatan di Provinsi Lampung. Kebetulan regional yang kurang sukarelawannya adalah bagian Kabupaten Tanggamus. Aku tak tahu sama sekali dengan Kabupaten Tanggamus, ke sana pun belum pernah. Tiba-tiba mendapatkan peran menjadi sukarelawan di kabupaten tersebut. Awalnya saya ragu, tapi berkat dorongan teman-teman dan terlanjur mengiyakan saya pun menerima dengan lapang dada. Setelah semua berkas dipersiapkan, saya terkejut melihat antusiasme kawan-kawan yang lain. Rupanya banyak dari kawan-kawan satu angkatan yang berpartisipasi, saya makin gembira melihat ini.

Kami diberi pengarahan di ruang auditorium perpustakaan UNILA. Di sini diberi pelatihan mengenai apa-apa yang akan kami kerjakan, apa resikonya serta berapa lama kami bertugas di lapangan. Yang membuat kami semua terkejut adalah ternyata selama kami melaksanakan tugas itu, segala keperluan mulai dari transport, komunikasi dan makan sudah ada anggarannya. Kami bertepuk tangan mendengar itu dan sangat gembira. Ketika semua informasi dan pelatihan sudah diberikan, panitia langsung memberikan uang transportasi dan komunikasi. Wahh awal yang baik. Gumamku.

Dua hari setelah itu kami berkumpul lagi di GSG UNILA untuk pengarahan. Waktu itu Plt. Gubernur Tursandi Alwi yang memberikan pengarahan, dari sekian lama berbicara inti yang dapat kutangkap adalah dia siap mengalokasikan anggaran dari APBD Lampung demi kesuksesan Pemilu. Seluruh hadirin bertepuk tangan mendengar ketegasan sang Plt. Gubernur. Bagi saya dia sangat mengerti keadaan kami yang akan bertugas di daerah pelosok. Bahkan menurut beliau ada sebuah kecamatan yang listrik pun belum ada. Jangankan listrik, untuk mencapai kecamatan tersebut saja harus berjibaku dengan ombak samudera hindia yang ganas atau harus mendaki pegunungan Bukit Barisan dengan mengendarai motor gunung, yang rodanya sudah ditempeli rantai agar tidak terpeleset dan maser. Saat mendengar Gubernur mengatakan itu saya hanya bisa membayangkan seraya menerka-nerka, seperti apa kecamatan yang diceritakan sang Plt. Gubernur. Perasaan Indonesia sudah lebih dari 50 tahun merdeka, masa masih ada daerah yang seperti itu. Aku bergumam dalam hati.

Oke, setelah pengarahan kami diberitahu kecamatan mana yang akan kami tuju, kebetulan saya dan 3 orang lainnya mendapatkan tempat di Kecamatan Pematang Sawa. Kutanya ke 2 orang teman ku yang menjadi team entry data ternyata tak tahu menahu tentang kecamatan ini. Adapun dari seorang panitia korwil hanya mengatakan bahwa Pematang Sawa itu letaknya di ujung selatan Pulau Sumatera yang paling Barat dan itu daerah pesisir. Aku tercengang mendengar itu. Ujung barat pulau Sumatera dan daerah pesisir. Berarti suatu daerah dengan hamparan laut membiru dan dibelakangnya adalah pegunungan Bukit Barisann yang menjulang. Wahh kami bingung sekaligus penasaran dengan daerah Pematang Sawa. Satu hal yang membuat kami gembira adalah daerah yang kami tuju sesuai dengan keinginan kami, yaitu pertama suatu daerah yang belum pernah kami kenal. Kedua, daerah yang disana ada pantainya, atau yang ketiga sebuah daerah pegunungan.

Setelah diberi pengarahan dan ditempatkan di kecamatan Pematang Sawa, semua sukarelawan keluar dan menuju bus untuk meluncur ke Kabupaten Tanggamus. Sesuai instruksi korwil, kami diharuskan berkumpul dulu di Kabupaten Tanggamus untuk diberi pengarahan lagi oleh sang empunya daerah, yaitu Bupati Tanggamus. Waktu itu masih dijabat Pak Fauzan. Di aula Kabupaten sudah berkumpul pula semua Bapak Camat se Kabupaten Tanggamus. Meskipun Camat, rupanya kalau sudah berkumpul dengan rekan sesama Camat, kelakuan mereka seperti kami yang berkumpul sesama sukarelawan. Canda tawa yang lebih ditonjolkan ketimbang keseriusan sebagai seorang pemimpin di sebuah kecamatan.

Grup kami terdiri dari 4 orang, satu orang supervisor dan 3 lainnya team entry. Kami ditempatkan di sebuah kecamatan yang memang paling barat di kabupaten Tanggamus. Sukarelawan yang ditempatkan pada daerah yang dekat dengan pendopo kabupaten sudah dijemput dan siap menuju lokasi bersama Camat. Tapi kami berempat disuruh menunggu. Kami diinformasikan oleh seorang pejabat kabupaten bahwa Camatnya sedang menuju ke Kabupaten.

Maklum lah de, jarak dari sini ke sana kalo lancar nyampe 3 jam lah” kata pejabat itu coba menenangkan kami yang sedari tadi gelisah menunggu jemputan.

Maklum saja kami resah karena hingga dua jam di sini kami menunggu, belum ada kabar mengenai kedatangan penjemput. Kami lihat kawan sesama sukarelawan, satu per satu mereka sudah meninggalkan lokasi penjemputan dan menuju kecamatan masing-masing. Sedangkan kami masih menunggu.

Menunggu

Jika dipandangi secara seksama, kabupaten ini memang memiliki kondisi geografis yang sempurna. Di bagian tengah, terdapat pegunungan yang menjulang sehingga menyejukkan udara, di bagian Barat ada hamparan pantai yang membelah teluk semangka dan teluk lampung. Dari sini kami dapat melihat betapa indahnya teluk lampung yang membentang kebiruan, siluet mentari menembus awan membuat suasana menjadi teduh, biru kelautan. Meskipun kami kesal karena hampir tiga jam kami menunggu, rasanya kekesalan kami terhapuskan dengan pemandangan alam yang indah ini. Belum lagi dengan udara yang sejuk. Dibelakang gedung perkantoran Kabupaten ini juga terdapat kompleks pegawai yang menjulang menghiasi perbukitan. Sangat teratur dan rapi kompleks tersebut. Tak lama setelah kami memandangi sekeliling bangunan disekitar gedung kabupaten ini, akhirnya sang penjemput pun datang. Kami semua senang melihat sang penjemput datang. Rasa kesal akhirnya terbayar sudah setelah melihat sang penjemput, apalagi sikap dan perilaku Pak Camat dan staffnya begitu hangat terhadap kami. Kami menjadi betah dibuatnya. Tak lama setelah beramah tamah dan berkenalan, kami mengemas barang dan siap meluncur. Pematang Sawa, misteri macam apa yang kan kau tunjukkan untuk ku?

Kami berangkat menggunakan mobil dinas kecamatan, sebuah mobil kijang kapsul berwarna merah ati. Dalam perjalanan dari Aula Kabupaten di kanan kira jalan tampak pohon duren menjulang dan sedang berbuah. Kami terus menyusuri jalan menuju Pematang Sawa. Kota agung kami lewati, kecamatan Wonosobo juga terlewati, terus kami meluncur hingga kecamatan Semangka. Dalam jalur hingga kecamatan semangka kondisi jalannya sangat halus dan sudah hotmik. Kami nyaman, hamparan luas persawahan dan bukit barisan menjadi pemandangan yang mendominasi perjalanan kami. Hingga disuatu jembatan di kecamatan semangka, kami dihadapkan pada dua pilihan jalan. Pertama apakah kami akan melewati jalur alternatif yang kondisi jalannya rusak atau lewat jalur biasa yang jalannya bagus tetapi memutar sangat jauh. Di jalur alternatif ada jembatan tua yang hanya bisa dilewati satu arah kendaraan. Jika ada kendaraan, baik mobil atau motor yang melintas, maka kendaraan lain dari arah sebaliknya harus mengalah dulu hingga kendaraan yang sedang melintas telah sampai di ujung jembatan. Begitu seterusnya. Arus kendaraan yang tidak terlalu padat, membuat buka tutup jalur ini jadi hal yang biasa. Namun jika kondisinya padat, mungkin sedikit menyebalkan karena harus menunggu antrian hingga lama.

Oke kembali ke pilihan jalur tadi, akhirnya kami sepakat atas saran sang penjemput untuk melintasi jalur satunya. Jalur yang memutar tapi kondisi jalannya lumayan baik. Meskipun banyak lobang dan kubangan, tapi secara keseluruhan baik. Hanya beberapa kilometer saja jalan menjadi becek dan sudah tidak beraspal. Tapi tak masalah bagiku. Toh mobil yang kami tumpangi tidak sampai mogok dan macet gara-gara kubangan tersebut. Sepanjang perjalanan Pak Camat dan staffnya selalu mengomentari kondisi jalan yang tak kunjung diperbaiki.

Bagaimana mau maju daerah kita, jalannya aja gak dibetulin” protes Pak Camat kepada kami. Memang jalan yang kami lewati dan dibilang lumayan ini sebenarnya tidak layak bagi kendaraan roda empat macam kijang seperti ini. Harusnya kendaraan seperti jeep atau kendaraan off road lainnya yang sanggup menaklukan sebagian kondisi jalan yang hancur ini dengan cepat. Tapi apa boleh buat hanya ini lah jalan satu-satunya yang bisa dilalui kendaraan. Sebenarnya ada satu pilihan transportasi lain bagi masyarakat sini yang ingin ke Pematang Sawa, yaitu perahu. Menggunakan perahu membelah sungai semangka membutuhkan waktu yang cepat ketimbang harus memutar seperti kami. Kalau untuk memutar membutuhkan waktu berjam-jam, kalau dengan perahu cukup setengah jam.

Melewati kecamatan semangka dan mendekati desa Way Nipah, udara terasa panas. Suasana pantai dan laut mulai terasa. Di sebelah kiri jalan mulai kelihatan hamparan teluk dengan warna biru. Ku pandangi hamparan pantai itu dari kaca mobil, sungguh asri. Terus bergerak mobil ini mengikuti hamparan pantai tersebut. Sesekali kami melihat beberapa orang menikmati pemandangan pantai yang indah. Kebetulan hari menjelang sore sekitar jam 17.00. matahari mulai menyembunyikan sinarnya. Warna kuning keemasan menambah dramatis suasana di desa Way Nipah. Sebuah desa di Kecamatan Pematang Sawa. Tampak rumah-rumah penduduk yang berbentuk panggung. Disampingnya ada beberapa perahu, jaring dan alat tangkap ikan. Rupanya sebagian besar penduduk di sini bermata pencaharian sebagai nelayan. Sekilas ku lihat penduduk di sini sebagian besar bersuku lampung. Terlihat dari perawakannya yang bermata sipit, seperti kebanyakan suku lampung lainnya. Kalau di bagian kiri jalan banyak pohon-pohon kelapa dan duku membentang hingga ke bibir pantai, maka di sebelah kanan jalan terdapat hamparan pohon duku, duren, petai hingga manggis. Aneka pohon buah-buahan itu menghampar hingga kaki bukit. Sejauh saya memandang, terlihat ketiga jenis pohon itu menjulang. Dengan background Bukit Barisan yang menghijau, menambah suasana perjalanan kami jadi sempurna. Sungguh indah ujung selatan sebelah Barat pulau Sumatera ini.

Kami pun sampai di tempat tujuan. Pukul 17.30. Plang kecamatan Pematang Sawa yang sudah luntur catnya dan berkarat,menjadi saksi bisu penyambut kedatangan kami. Tak ku lihat gedung kecamatan mewah yang menjadi ciri di setiap daerah di kota. Hanya gedung sederhana beralaskan semen hitam dan berkursi plastik. Satu-satunya barang mewah yang ada di bangunan ini hanya genset bermesin diesel dan sebuah komputer build up, yang sengaja diberikan kepada Kecamatan ini oleh Kabupaten demi kelancaran Pemilu. Barang tersebut sudah berbulan-bulan sampai di sini, selain kami tak ada yang bisa mengoperasikannya. Hanya genset saja yang kadang digunakan untuk keperluan penerangan. Kalau komputernya yaa dibiarkan menganggur menunggu kami datang... Hmmm... luar biasa....

Awalnya kami tak percaya ada sebuah daerah yang tak teraliri listrik selama lebih dari 50 tahun merdeka. Tapi kini di depan mata kepala kami sendiri, kami menyaksikan sebuah kecamatan yang tak tersentuh listrik. Genset jadi satu-satunya sumber listrik bagi satu kecamatan. Itu pun kapasitasnya sangat terbatas, paling hanya 2000 Watt. Kami hanya bisa menggelengkan kepala menyaksikan ketidakadilan pembangunan. Ahhh sudah lah itu bukan urusan kami, karena waktu sudah menjelang malam kami pun bergegas membereskan pekerjaan kami. Menginstal komputer dengan program KPU. Menyiapkan akses internet ke server KPU pusat dan menghidupkan telepon sebagai sarana telekomunikasi dengan pusat. Bersyukur semua dapat kami selesaikan tanpa hambatan.

Banyak sukarelawan lain yang mengalami kendala selama proses tersebut. Mulai dari power supply yang tak support, koneksi data ke pusat yang tersendat dan lainnya. Bagi kami itu urusan mereka, toh masih banyak waktu bagi mereka untuk mempersiapkan segalanya. Selesai semua urusan, kami istirahat. Kami berempat dalam satu ruangan yang pengap. Tak ada kipas angin, yang ada Cuma kipas bambu. Atap seng membuat panas semakin menjadi jadi, ditambah nyamuk pantai yang kecil-kecil tapi gigitannya seperti gigitan semut rangkrang. Suasana hari pertama di Pematang sawa begitu sengsara.

Matahari menampakkan sinarnya, kami masih terlelap. Berkas cahaya menembus celah jendela kami. Terkejut lalu terbangun. Pagi yang cerah di belahan selatan bagian barat lampung. Kami bangun, siap menyelesaikan segala pekerjaan yang tertunda. Kami mandi. Alangkah terkejutnya kami mendapati sumur tanpa air, kalaupun ada airnya keruh dan butek.

Kalo mau mandi disungai aja airnya bersih, seger lagi” ucap Pak Camat disertai rengekan anaknya untuk mengajaknya ke sungai.

emang sungai nya jauh tidak pak?” aku bertanya keheranan disertai teman-teman yang lain.

deket, paling Cuma sekilo tar si Rifki yang nganter ke sana, dari tadi maunya kesana terus nih si Rifki

ohh” kami pun bergegas menyiapkan peralatan mandi.

“Emang sering mandi di sana Ky?”

sering om, enak mandi di sana seger

trus rame gak kalo mandi di sana?”

ya tergantung om, kalo yang deket, rame, tapi kalo yang ke dalem sepi om” jawab rifki sekenanya.

okeh ki kita berangkat

Asiik” jawab Rifky seraya menyiapkan peralatan mandinya.

Di mata kami rifki anak yang lucu, wajahnya putih, serta mata yang sipit mewariskan kegantengan ayahnya. Anaknya periang, walaupun masih duduk di kelas 2 SD tapi selalu nyambung diajak ngobrol, mampu mengimbangi kami yang sudah kuliah semester 4. Apalagi kalo kami menanyakan cewe-cewe di sekolahnya, dengan semangat dia menceritakannya. Mungkin tanpa dia, kami berempat menjadi hampa ditempat ini.

Kami keluar dari gedung kecamatan yang bagi kami tampak seperti gedung pertemuan yang dibangun seadanya. Jauh dari sebuah kantor pemerintahan yang baik. Atapnya terbuat dari seng dan kelihatan mulai karatan. Sumber listrik hanya genset, itupun kalau bukan Pak Camat yang menyuruh menyalakan, tidak ada yang berani menyalakan genset, meskipun keadaan sangat gelap mencekam. bukan karena tidak ada yang berani menyalakan, melainkan yang menyimpan solar untuk genset hanya pak Camat, selain beliau tak ada lagi. Maka pak Camat menjadi satu-satunya yang berhak memutuskan kapan genset itu dinyalakan dan kapan dimatikan. Solar merupakan masalah serius jika tak ditanggulangi oleh Pak Camat, untuk mendapatkannya saja harus menempuh perjalanan 4 jam bolak-balik. Dan satu kecamatan hanya ada satu kendaraan dinas roda empat. Sisanya roda dua. Praktis hanya mobil pak camat saja yang bisa menempuh perjalanan itu beserta beliau yang menyetir, karena tak ada satu orang pun yang bisa mengendarai selain beliau. Hmmm bodoh juga pak camat tak mengajarkan anak buahnya untuk belajar mengemudi, toh dia juga yang nantinya diuntungkan. Ahh terserah pak camat deh, mungkin bagi dia itu adalah kendaraan dinas yang tak boleh jatuh ketangan siapapun. Hmmm....

Oke kembali ke acara mandi bersama rifky, kami berjalan menyusuri jalan setapak dibelakang kantor kecamatan. Sesekali kami berpapasan dengan penduduk sekitar yang selesai mandi, ada perempuan dengan anaknya, bapak-bapak serta kakek nenek. Mereka semua ramah, seraya memandangi kami ber lima dengan tatapan aneh, mungkin bagi mereka, kami orang baru yang tak pernah mereka lihat. Kami mudah saja dikenali sebagai orang baru di sini. Dari cara berpakaian kami serta bertutur. Hampir seluruh warga pematang sawa berbahasa lampung pesisir. Sedangkan kami, ada yang berbahasa jawa dan indonesia. Kami terus menyusuri jalan setapak, semakin kedalam hutan jalan semakin menanjak. Sesekali di sebelah kanan kami terlihat aliran sungai. Airnya bersih dan jernih. Meskipun tak begitu deras dan besar, bagi kami sungai itu sangat menyejukkan. Beberapa kali rifky menyebut tempat yang sering digunakan penduduk untuk mandi. Tapi kami tak tertarik, selain tempatnya mudah dilihat dari jalan setapak yang menjadi lalu lalang penduduk, tempatnya juga dangkal, sehingga tak membuat kami leluasa. Kami terus menyusuri hutan bukit barisan, semakin kami kedalam, hawa sejuk semakin terasa. Sesekali kami berpapasan dengan pengendara motor pengangkut biji kopi. Luar biasa pengendara tersebut, sekali turun gunung membawa kopi hampir menutupi seluruh motornya. Medan sempit nan terjal tak menghalangi tindakannya. Bak seorang pembalap motocross yang expert dia mengatasi setiap celah dan batu-batu disepanjang jalur tersebut. Tak dapat ku bayangkan kalau ketika musim hujan, apa jadinya pengendara motor tersebut?

Tapi dilihat dari motor yang sudah disulap menjadi roda beralaskan rantai, rasanya hujan pun bukan halangan bagi mereka. Luar biasa...

Setelah hampir satu kilometer kami mencari tempat, akhirnya rifky menunjukkan tempat yang jarang digunakan penduduk. Dan ini tempat paling jauh yang pernah ia gunakan tuk mandi. Peduduk pun rasanya jarang ke tempat ini karena memang jauh dan jalan yang menanjak. Kami masuk menyusuri jalan setapak yang dibuat seadanya menuju tempat tersebut. Kami terkejut, ternyata apa yang dikatakan rifky tak salah dan bahkan melebihi ekspektasi kami. Aliran sungai yang jernih dihiasi bongkahan batu kali yang besar-besar menambah kesan alami. Sungai ini tak terlalu besar, bahkan bagi kami serupa dengan kali. Aliran airnya pun paling hanya selebar 3 meteran. Sebagian besar permukaannya dangkal. Mungkin kedalamannya hanya sekitar 20 cm. Hanya beberapa titik saja yang mencapai meteran. Di tempat ini banyak batu kali terhampar ada yang besar ada yang kecil. Ada pula yang sedang-sedang. Di bawah batu yang paling besar terdapat kubangan air sedalam kira-kira dada orang dewasa. Terlihat jelas permukaan kali yang sebagian besar terdiri daru batu-batu kali kecil. Di sebelah kanan sedikit keatas ada air terjun kecil yang berundak-undak. Sekitar tiga undakan, airnya tidak terlalu deras dan merambat mengaaliri bebatuan. Sejenak kami terpana dengan keindahan alam yang asri alami. Alam yang belum ternodai pikiran busuk manusia tuk menguasai dan mengeksploitasi demi rupiah. Meskipun ada staff kecamatan yang ingin menjadikan tempat ini sumber pemasukannya, semoga tak sampai mengorbankan keindahan alaminya serta tak merugikan penduduk sekitar.

Kami mandi serta berlama-lama untuk menikmati air alami nan jernih bukit barisan. Kami berenang kesana kemari serta menikmati guyuran air terjun kecil di atas bongkahan batu besar. Riak air menambah kegembiraan kami. Sejenak kekecewaan kemarin dibayar tuntas. Hilang dari pikiran kami. Rifky terus saja memainkan air seraya memburu ikan kecil yang berenang menyusuri air sungai ini. Penasaran dengan ikan yang diburu rifky kami mengikuti tingkahnya. Tak terasa waktu pun berlalu dan beranjak siang. Matahari hampir tepat di atas ubun-ubun. Hampir tengah hari. Kami bergegas menyudahi ini. Kami bersiap dan kembali ke kecamatan. Kami segar kembali serasa mendapatkan energi tuk menikmati setiap jengkal tanah Pematang sawa di desa Way Nipah. Tepat 500 m dihadapan kantor kecamatan, terlihat deburan ombak dan birunya laut. sangat menggoda. Besok sore, aku ke sana. Gumamku dalam hati.

Hari ini pemilihan umum belum dimulai, besok baru dilaksanakan. Hari demi hari kami habiskan dengan membantu petugas kecamatan melipat kertas pemilu. Terus kami bantu hingga malam menjelang. Seharusnya kami tak diperbolehkan melipat kertas surat suara. Tapi masa iya kami tega hanya melihat-lihat para petugas kecamatan melipat-lipat kertas, sementara kami berempat tertawa-terbahak bahak sembari maen gaplek? Padahal kami satu atap malam itu. Akhirnya rasa iba dan tidak enak ini mengalahkan kode etik kami sebagai petugas entry data. Toh kami hanya membantu, tidak berniat menghambat apalagi mencurangi proses pemilu.

Pekerjaan melipat sudah rampung. Tinggal menunggu esok, hari yang bersejarah memilih calon anggota legislatif 2004. Kami tidur. Pagi-pagi sekali kantor kecamatan sudah sibuk. Kami terpaksa bangun pagi-pagi sekali. Mereka yang bertugas di daerah terpencil sudah berangkat sejak tadi malam menumpang perahu warga. Jarak dari kecamatan ke TPS terjauh kira-kira 5 jam naik kapal motor. Satu-satunya angkutan yang bisa membawa logistik pemilu ke tempatnya hanya perahu motor itu. Kami membayangkan bagaimana mereka menerjang deburan ombak samudera hindia untuk menyelamatkan logistik pemilu demi kelancaran pemilihan kali ini. Okeh kami tidak jauh membayangkan hal itu, didepan mata kami para petugas sudah sibuk mengurusi logistik pemilu. Kami pun bersiap diri memperisapkan perangkat untuk mengentry data. Pada saat itu kami memprediksi setelah jam 12 siang akan ada suara yang sudah direkap dan akan dikirim ke KPU pusat. Kami bersiap-siap layaknya seorang profesional. Mempersiapkan secara detil semuanya. Tak ada satu hal pun yang telewatkan. Kami menunggu.

Hingga jam 2 siang blm ada satu pun rekap suara yang sampai ke tempat kami tuk di entry. Bosan menunggu, kami pun bergegas keluar menyusuri pantai. Pikir kami kalaupun ada orang yang datang dan minta rekap, tinggal di taruh saja diruangan kami. Selebihnya tinggal kami entry nanti malamnya. Okeh kami berangkat berempat menyusuri pantai nan indah di desa Way Nipah.

“Pri, nitip ya kalo ada orang dateng bawa berkas suruh taro aja dulu di ruangan”

okeh bos siap” Supri mengiyakan dengan mantapnya. Siang itu dia bertugas menjaga kantor, takut kalau ada apa-apa dan butuh bantuannya. Pak Camat beserta staff meninjau lokasi di setiap TPS. Sedangkan kami, harusnya sudah mengentry data, tetapi masih menunggu hingga pukul 15.00. dan berkas rekapan pun belum kami terima. Apa boleh buat, kami nikmati semilir angin berhembus di sekitar pantai. Kebetulan saat ini sedang mendung. Hamparan pasir putih dan birunya laut menambah rasa penasaran kami untuk menaklukan pantai ini. Ombak tidak besar, meskipun sebentar lagi tampaknya turun hujan. Kami bergegas membuka baju tuk menaklukan pantai nan asri alami. Kami berenang kesana kemari, tak lama hujan pun turun. Begitu deras sehingga kami terlanjur terjebak di pantai ini. Kami terus berenang meskipun tampak kilatan cahaya dan guntur bergemuruh. Kami pantang, kami tantang alam. Kami kesetanan dan terus berenang menantang samudera. Dibantu dengan sebatang bambu panjang dan lumayan besar, kami seperti mendayung di tengah angin. Seperti melayang rasanya, tak ada rasa capek, pegal. Kami semua tertawa terbahak bahak diselingi guntur yang menderu-deru tentunya. Kami serasa marcopolo sedang menantang samudera. Kapal selam membelah lautan. Begitu angkuhnya kami saat itu. Mungkin inilah sihir eksotisnya pantai way nipah. Melupakan siapa diri kita, hingga hampir melupakan sang penguasa, meskipun maut menjelang di depan mata kami. Sungguh misterius. Tepat ketika hujan berhenti, kami pun berhenti melakukan kegilaan di pantai ini. Waktu sudah sore, nampak di ufuk barat matahari mulai menenggelamkan diri. Sungguh pemandangan yang indah. Kami terpana dibuatnya, mengagumi keindahan sang pencipta. Serentak kami terdiam beberapa saat. Menunggu gelap. Lalu pulang.

Sampai di kecamatan belum ada rekap surat suara yang akan di entry, kami tambah bingung. Mungkin esok, bersama saksi-saksi parpol. Kami masih menunggu hingga malam kian larut dan kami terlelap. Esok hari, misteri apa lagi yang kau sembunyikan, Way Nipah?

Jumat, 19 Juni 2009

KEPARAT!!!


Aku punya teman
Teman sepermainan
Dimana ada dia selalu ada aku.. (TTM. RATU)

Masih ingatkah kau kawan lagu diatas tadi? Lagu itu sempat menjadi hits disemua tangga lagu tanah air di era 2007. yaa lagu itu dinyanyikan oleh Ratu yang pada waktu itu digawangi Maia dan Mulan Kwok. Lagunya menarik sehingga menjadi hits pada waktu itu. Sampai sekarang pun lagu itu menjadi buah bibir, pasalnya ada bule yang ingin menggarap lagu itu dan ingin dipasarkan di luar negeri dengan bahasa mereka. Bagiku itu sah-sah saja selama sudah meminta izin pada si empunya yaitu Ratu.

Oke gua disini Cuma ingin menceritakan pengalaman sehari-hari dengan fenomena lagu itu. Gua punya teman yang dimana gua ada, selalu ada dia. Anggap lah namanya Agus. Tapi tahukah kau kawan mungkin lebih cocoknya ku anggap dia sebagai Keparat. Hmmm cocok sekali kalau ku sebut teman ku itu Keparat! Pake tanda seru kawan, Keparat!

Ku sebut Keparat karena ada sebabnya kawan, kau tahu tidak kalau si Keparat itu, tingkah lakunya tak rubahnya anak SD! Bahkan anak SD pun bisa lebih dewasa dari si Keparat. Pola pikirnya selalu ingin memanfaatkan orang yang bisa menguntungkan dia. Tak lebih! Berbagai cara dia lakukan untuk memenuhi ambisinya, meskipun harus menelan ludah sendiri. Jangankan ludah sendiri, kalau ku coba bayangkan, TAI!!! dia sendiri pun sudah dimakannya demi ambisinya. Tak ada kata teman selama dia mengejar ambisinya. Kalau ambisinya ke arah positif ku dukung dia. Tapi masalahnya ambisinya itu sesuatu yang remeh temeh. Dan parahnya cenderung ke arah negatif. Padahal si Keparat selalu mengaku kalau dia adalah seorang sarjana dan selalu membanding-bandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan tinggi, tapi sifat, pola pikir dan tingkah lakunya mencerminkan kalau justru dia lah yang tak ubahnya anak SD berperawakan tua. Yang membuatku bingung adalah pendidikan macam apa yang mencetak orang seperti dia!!!! Lingkungan seperti apa yang mendoktrin KEPARAT seperti itu!!!

Pernah dalam suatu acara di TV ada dialog paparan visi seorang CAPRES mengenai masalah ekonomi. Kalau aku, tetangga sebelah dan seorang ibu rumah tangga yang tidak berpendidikan tinggi berpikir bagaimana nanti memilih seorang presiden yang mampu membawa Indonesia sedikit maju ketimbang hari ini. Lain halnya dengan si Keparat, saat dia main ke rumah ku dan menonton acara tersebut, omongan yang keluar ketika mengomentari paparan tersebut adalah
“Orang itu gak boker yaa, presiden kalo kentut dimana ya? Ngentot doang presiden itu yaa? Monyet! Apa dia gak boker? Trus bokernya gimana?”

Hanya itu kawan komentar dari seorang yang mengaku sarjana! Dari didikan keras orang tuanya yang menyekolahkan dia hingga ke Universitas.

Bukan itu saja kawan, yang paling menmuakkan dari si Keparat itu adalah suka mengetes seseorang, tak terkecuali orang yang sehari-hari dia temui. Misalnya dia sering mengajak ke tempat nongkrong uduk dengan mengatakan kalau dia tak membawa uang, tentu harapannya agar aku bersedia membayarkan semuanya. Sering pula dia mengajak aku ke warung kopi mengajak nongkrong dan ngopi, dan dengan mengatakan kalau dia membawa uang tapi cukup hanya untuk dirinya, harapannya agar aku bisa ikut nongkrong dan menemani dia ngoceh yang gak jelas seraya aku mengikuti pola pikir dia yang tak ubahnya seperti anak SD! Kalau sudah begini biasanya aku diam saja, seraya aku mencari kawan lain yang walaupun tidak lulus SMU, tapi pola pikir dan perilakunya sudah sangat dewasa. Aku senang diskusi dengan orang seperti ini, walaupun sering orang ini menggurui ku, tapi ini lebih baik ketimbang bicara dengan si Keparat!

Sesekali si Keparat baik terhadapku, itu juga kalau sudah ku sindir dengan segala rupa. Misalnya dia selalu bercerita kalau si Keparat baru dapat uang, tapi setelah bercerita dapat uang dari ini itu, dengan mudah juga dia mengatakan kalau uangnya sudah habis untuk ini untuk itu!!. Aku hanya dijadikan kambing conget untuk mendengarkan cerita belagunya si Keparat mendapatkan uang seraya mengolokku di depan mukanya!.

Kalau sudah seperti itu baru ku sindir dengan kata-kata sederhana tapi menusuk!
“Kalo Cuma ngomong dapt duit anak kecil gak sekolah juga bisa Keparat!”

Satu hal yang paling senang dia lakukan ialah menonjolkan kelebihan dia dan mencari-cari kelamahan orang dan mempermasalahkannya. Padahal kelebihan dia tidak lah lebih baik dari kelemahan orang lain itu!
Hanya pikiran si Keparat saja yang menganggap dia lebih baik dari orang lain disatu sisi. Faktanya jauh berbeda.
Sekali lagi aku bingung, pendidikan macam apa yang mencetak pola pikir orang semacam itu?!!
Dasar KEPARAT DOANG!!!

Rabu, 03 Juni 2009

Waduk




16.30 WIB, waktu yang paling membahagiakan bagi sebagian orang. Betapa tidak, biasanya pada jam segitu orang-orang yang memiliki rutinitas pekerjaan, menyelesaikan rutinitasnya. Tak terkecuali bagi sebagian pegawai dan karyawan yang ada di kota Cilegon. Kata mereka para pekerja, waktu yang paling membahagiakan ialah ketika pulang kerja dan menerima gaji! Memang demikian karena ketika waktu menunjukan jam pulang, rasanya semangat yang hilang selama bekerja kembali muncul, tentu dengan semangat ingin pulang dan bertemu kawan, kerabat, sodara dll. Apalagi kalau jam pulang setelah bekerja sebelum matahari menenggelamkan dirinya. Alangkah beruntungnya mereka yang dapat melihat matahari ketika berangkat kerja dan pulangnya.

Mengobrol dengan teman sejawat, kawan atau saudara merupakan kegiatan yang menyenangkan selagi ada tempat yang kondusif menarik dan tentu saja murah meriah. Ada satu tempat yang sangat menarik di Cilegon, yang dapat dijadikan referensi untuk sekedar diskusi melepas kepenatan sehabis bekerja atau sekedar lewat dan melihat-lihat pemandangannya.

Suatu tempat yang sedikit banyak bisa mengendurkan saraf-saraf kita yang tegang selama beraktifitas.. Satu tempat yang sangat menarik itu adalah bendungan kerenceng. Yaa sebuah bendungan yang kira-kira luasnya 10 hektar, mungkin lebih. Bagi sebagian warga cilegon mungkin tak asing lagi mendengar nama itu, karena waduk itu sudah dibangun sejak lama untuk mengairi sawah dan irigasi warga Cilegon pada waktu itu. Hanya saja saat ini fungsi itu sedikit bergeser menjadi waduk untuk memenuhi segala kebutuhan air bersih bagi warga Cilegon. Kalau dulu luasnya tidak sebesar ini dan belum dibangun jalan aspal yang menghubungkan pintu barat dan timur, maka saat ini ketika sudah dibangun jalan yang menarik waduk tersebut pun dijadikan jalan alternatif bagi warga Cilegon yang tinggal di sebelah barat kota Cilegon. Apalagi dengan pemandangan yang indah, tentu menjadi pilahan yang menarik.

Banyak cerita menyertai pembangunan bendungan atau waduk dari waktu ke waktu. Lokasinya yang tak jauh dari pusat kota, menjadikan waduk ini sering dikunjungi anak-anak muda, pekerja kantoran, buruh, pedagang hingga orang tua yang sekedar melepas penat. Dengan bentuk seperti setengah lingkaran yang membentang dari barat hingga ke timur, membuat waduk ini terasa menarik saat kita baru memasuki areanya. Hawa sejuk udara pegunungan di tambah dengan aroma air yang menyejukkan mata menambah keeksotisan dan kesempurnaan ciptaan Allah SWT. Bayangkan kawan saat kita melihat waduk ini, kita sudah dimanjakan dengan pemandangan waduk yang menyejukkan mata. Air putih jernih ditambah dengan bias mentari sore, memancarkan sebuah paduan warna yang sangat menarik. Apalagi sepanjang jalan kira-kira 5 km yang membentang waduk ini menyajikan pemandangan yang sangat indah. Panorama alam pegunungan, sawah dan bukit Mancak yang asri menjadikan latar belakang alami waduk ini sangat indah. Apalagi jika kita berdiri persis ditengah-tengah jalan menuju pintu timur waduk, maka kita dapat merasakan keindahan dan keunikan dari waduk kerenceng secara utuh.

Jika kita menghabiskan waktu di situ dan menyeruput secangkir kopi atau teh yang hangat dan ditemani cemilan, seraya mendengarkan lagu sendu, tentu nuansanya sangat luar biasa. Atau jika ingin menghabiskan waktu untuk mengobrol dan berdiskusi dengan teman-teman sejawat atau kawan lainnya, saya rekomendasikan tempat ini untuk dijadikan referensi utama selain tempat menarik lainnya di Cilegon.

Inspiration room. 30-05-09. 10.42 WIB


Jumat, 29 Mei 2009

SAJAK BAGONG


Bagong namanya

Tantanglah berkelahi]kepalamu pasti dikepruk batu

Bawalah whisky

Bahumu pasti ditepuk-tepuk gembira

Ajaklah omong

Tapi jangan khotbah

Ia akan kentut

Bagong namanya

Malam begadang


Subuh tidur bangun siang

Sore parkir untuk makan

Awas jangan ngebut didepan matanya

Engkau bisa dipukuli

Lalu ditinggal pergi

Ya, ya bagong namanya

Pemilu kemren besar jasanya

Bagong ya bagong

Tapi bagong sudah mati

Pada suatu pagi

Mayatnya ditemukan orang

Di tepi rel kereta api

Setahun yang lalu

Ya, ya setahun yang lalu